Mataram, Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT) menunjukkan komitmennya dalam memberikan inovasi pendidikan tinggi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Salah satu terobosan signifikan yang diinisiasi adalah Program Kelas Riset di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Program ini memberikan jalur alternatif penyelesaian tugas akhir melalui publikasi ilmiah, menjawab tantangan yang kerap dihadapi mahasiswa terkait proses penulisan skripsi.
Program unggulan ini dirancang untuk mendukung mahasiswa yang memiliki minat tinggi dalam penelitian dan publikasi ilmiah. Dengan memanfaatkan kebijakan baru Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 yang mulai berlaku pada 18 Agustus 2023, UMMAT memastikan mahasiswa memiliki kebebasan lebih besar dalam mengeksplorasi kegiatan akademik di luar kelas. Kebijakan ini juga sejalan dengan visi universitas untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas publikasi ilmiah di tingkat nasional dan internasional.
Sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2022, Kelas Riset FKIP telah meluluskan tiga angkatan mahasiswa dengan capaian yang mengesankan. Hingga tahun 2024, lebih dari 90 mahasiswa telah berhasil menyelesaikan tugas akhir mereka melalui publikasi artikel ilmiah di jurnal nasional terindeks SINTA.
Pada angkatan ketiga tahun 2023, tercatat lebih dari 30 mahasiswa yang berhasil mempublikasikan artikel mereka di jurnal dengan indeks kualitas tinggi. Salah satu alumni, Wahyu Azwar dari Program Studi PPKn, berhasil menerbitkan dua artikel ilmiah di jurnal SINTA 2 dan SINTA 3. “Program ini benar-benar membentuk saya, baik secara mental maupun akademik. Prosesnya penuh tantangan, tetapi hasilnya sangat memuaskan. Saya merasa lebih siap menghadapi dunia akademik.” ungkap wahyu.
Keberhasilan Wahyu Azwar adalah salah satu bukti nyata dari dampak positif program ini dalam membentuk generasi muda yang unggul, tidak hanya dalam hal akademik, tetapi juga dari segi karakter dan kemampuan berpikir kritis. Adapun kualitas lulusan Kelas Riset FKIP UMMAT dijaga melalui proses seleksi yang ketat, mahasiswa yang ingin bergabung harus berada di semester 5 dan menyerahkan karya tulis berupa Systematic Literature Review (SLR) sebagai syarat pendaftaran. Selain itu, calon peserta diwajibkan mengikuti wawancara serta memenuhi berbagai persyaratan administratif lainnya.
Setelah dinyatakan lolos, peserta akan mendapatkan pembinaan intensif. Pelatihan ini mencakup penulisan akademik, teknik publikasi ilmiah, serta penguatan mental untuk menghadapi tantangan dalam proses penelitian. “Ketekunan, konsistensi, dan kesabaran adalah nilai utama yang selalu kami tanamkan kepada mahasiswa. Kami percaya bahwa karakter ilmiah tidak hanya ditentukan oleh kemampuan menulis, tetapi juga oleh sikap mental yang kuat,” jelas Wahyu mengutip pesan Pembina kelas riset FKIP Dr. Syaharuddin, M.Si.
Selain fokus pada penulisan artikel ilmiah, mahasiswa Kelas Riset juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan penunjang untuk meningkatkan kompetensi dan wawasan mereka. Beberapa kegiatan yang telah diselenggarakan meliputi: Webinar Systematic Literature Review (SLR) : Mahasiswa mendapatkan pelatihan intensif tentang metodologi penelitian yang mendalam dan sistematis; Seminar Penulisan Artikel Menggunakan AI: Memberikan wawasan kepada mahasiswa tentang pemanfaatan teknologi terkini dalam dunia akademik, termasuk alat bantu penulisan berbasis kecerdasan buatan, dan Seminar Internasional ISSRESTec: Ajang ini dirancang untuk memperluas jejaring mahasiswa dengan akademisi internasional, sekaligus meningkatkan wawasan global mereka.
Keberhasilan Program Kelas Riset FKIP telah menginspirasi fakultas lain di UMMAT untuk mengembangkan program serupa. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) serta Fakultas Agama Islam (FAI) kini juga menawarkan program inovatif, seperti Kelas Menulis dan Kelas Riset, guna mendorong mahasiswa memublikasikan karya ilmiah mereka.
“Semoga Kelas Riset FKIP UMMAT terus menjadi pionir dalam mendukung pengembangan soft skill mahasiswa, khususnya dalam menulis dan publikasi ilmiah. Kami berharap program ini dapat menjadi model bagi perguruan tinggi lain di Indonesia, terutama di NTB,” ujar Dekan FKIP, Dr. Muhammad Nizaar, M.Pd.Si.
Melalui inovasi seperti ini, UMMAT tidak hanya mempertegas posisinya sebagai perguruan tinggi yang adaptif terhadap kebutuhan zaman, tetapi juga berkomitmen menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi para mahasiswanya (HUMAS UMMAT).
Mataram, Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT), Ir. Asmawati, MP., yang merupakan dosen pengampuh mata kuliah pangan dan gizi pada Program Studi Teknologi Hasil Pertanian (THP), Fakultas Pertanian (FAPERTA), memberikan pandangan kritis mengenai program makan bergizi gratis yang digagas oleh pemerintah. Sebagai WR II yang membidangi keuangan dan sumber daya manusia (SDM) di UMMAT, beliau menilai meskipun program ini memiliki niat baik, pelaksanaannya harus diperhatikan dengan cermat agar dapat benar-benar memberikan dampak positif bagi pendidikan dan Sumber Daya Manusia, ketika ditemui diruangannya pada hari Rabu (08/01/2025) kemarin.
“Program ini tentu merupakan langkah yang bagus. Banyak siswa kita datang ke sekolah tanpa sarapan, yang jelas berdampak pada energi dan konsentrasi mereka dalam belajar. Namun, masalahnya bukan hanya sekadar memberikan makanan, tetapi juga bagaimana memastikan kualitas nutrisi yang diberikan kepada siswa dan keberlanjutan program tersebut,” ujar Wakil Rektor II UMMAT. Ia juga menegaskan bahwa sarapan bergizi gratis menjadi prioritas utama untuk mendukung kinerja dan konsentrasi belajar siswa dibandingkan dengan makan siang gratis, karena jika hanya menunggu makan siang, siswa akan tetap berangkat ke sekolah dengan perut kosong, yang bisa menghambat fokus dan konsentrasi mereka.
Namun, beliau juga mengingatkan bahwa penyediaan makanan bergizi bukanlah solusi tunggal. Keprihatinan beliau terhadap tingkat kemiskinan yang masih tinggi, menunjukkan bahwa masalah utama tidak hanya pada akses terhadap makanan, tetapi juga pada pendapatan masyarakat yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. “Angka kemiskinan yang tinggi menjadi alasan utama mengapa program makan bergizi gratis ini sangat dibutuhkan. Tetapi kita harus realistis bahwa memberi makan hanya satu sisi dari permasalahan besar. Untuk benar-benar mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kualitas SDM, harus ada perbaikan yang komprehensif dalam hal mutu pendidikan, penyediaan lapangan kerja, dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat,” paparnya.
Pemberian makan bergizi gratis yang menyasar berbagai kelompok usia, mulai dari siswa TK hingga SMA, serta ibu hamil dan menyusui yang mendapatkan distribusi makanan melalui posyandu, beliau mengingatkan pentingnya pengelolaan anggaran yang efisien agar program ini dapat berkelanjutan. “Program ini bisa saja menjadi sebuah program yang sangat bermanfaat, jika anggaran yang dialokasikan dikelola dengan bijak. Jangan sampai program ini hanya menjadi ‘panas di awal’ dan kemudian berhenti akibat kurangnya komitmen dan pengelolaan anggaran yang tidak baik,” tegasnya.
Salah satu hal yang menjadi perhatian utama Wakil Rektor II UMMAT adalah keterlibatan petani, nelayan, peternak dan pelaku UKM lokal dalam penyediaan bahan baku makanan untuk program ini. Program ini diharapkan menggunakan bahan baku pangan lokal yang ada disuatu daerah dan tidak menyarankan impor bahan makanan untuk program ini, karena dampaknya tidak akan terasa di tingkat ekonomi lokal.
“Dalam penyediaan pangan, pemerintah hendaknya memperhatikan beberapa subsistem seperti subsistem produksi dan pengadaan didalamnya ada petani, nelayan, peternak. Selanjutnya ada subsistem transportasi dan pemasaran dengan melibatkan SDM atau pelaku yang ada di daerah setempat. Hal tersebut perlu diperhatikan agar program ini tidak hanya meningkatkan status gizi masyarakat tetapi juga menggerakkan perekonomian daerah,” jelasnya. Program makan bergizi gratis ini baru pada tahap piloting, yang di NTB sendiri mengambil sampel Kota Mataram dengan 3 Kecamatan, yaitu Kecamatan Selaparang, Sekarbela dan Mataram, yang direncanakan akan diluncurkan pada 13 Januari 2025 di Kota Mataram.
Pelaksanaan program ini hendaknya diawasi dengan ketat agar tidak terjebak dalam rutinitas birokratis yang tidak menghasilkan perubahan signifikan. Wakil Rektor II UMMAT berharap evaluasi berkala dilakukan dengan serius untuk memastikan efektivitas program, terutama dalam hal distribusi makanan kepada penerima manfaat dan penyaluran yang tepat sasaran. Kesuksesan pelaksanaan di kota Mataram hendaknya menjadi contoh yang baik dan dapat ditiru oleh daerah lainnya, sehingga perlu di evaluasi proses pelaksanannya secara transfaran.
Pendekatan yang berfokus pada pemberian makanan tidak boleh mengabaikan pentingnya edukasi masyarakat tentang pola makan yang sehat dan seimbang. “Peningkatan gizi bukan hanya soal pemberian makanan, tetapi juga soal komposisi menu makanan yang diberikan, jadi tidak asal kenyang namun miskin zat gizi dan tentang keamanan dan higienitas mulai dari penyiapan bahan baku, proses pengolahan dan sampai kepada penyiapan untuk disajikan pangan tersebut, serta wadah yang aman untuk kesehatan konsumen penerima manfaat. Edukasi kepada masyarakat tentang pola makan yang sehat harus menjadi bagian integral dari program ini,” tambahnya.
Selain itu, Wakil Rektor II UMMAT menyoroti pentingnya perhatian pada gizi ibu hamil dan menyusui, yang menurutnya adalah investasi jangka panjang untuk SDM Indonesia. “Pertumbuhan manusia dimulai sejak dalam rahim. Oleh karena itu, perhatian pada gizi ibu hamil dan menyusui adalah kunci untuk menciptakan generasi yang lebih sehat dan produktif di masa depan,” jelasnya (HUMAS UMMAT).
Mataram, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT), Hanik, peserta internasional YALA PESAO 1’s magang, berbagi cerita inspiratif tentang pengalamannya di Thailand. Program yang berlangsung selama dua bulan ini membuka banyak peluang dan tantangan, sekaligus menjadi pembelajaran berharga dalam kehidupan dan kariernya (06/12).
Hanik Ditempatkan di Kabang Pittayakham School, sebuah sekolah setingkat aliyah yang berlokasi di provinsi Yala, Thailand Selatan. “Alhamdulillah, saya magang di daerah mayoritas Muslim. Pengalaman ini memberi saya kesempatan untuk mengajar dan berinteraksi dengan siswa menengah di sana,” ujarnya. Namun, perjalanan ke lokasi tidaklah mudah. “Tempat saya berada di daerah terdalam, dan untuk mencapai kota, saya harus menempuh perjalanan 12 jam melewati dua lembah,” tambahnya.
Dalam perjalanan magangnya, Hanik menghadapi berbagai tantangan, termasuk perbedaan budaya, mentalitas, dan bahasa. “Di Thailand, rata-rata orang belum bisa berbahasa Inggris. Namun, alhamdulillah, saya sedikit-sedikit bisa berbahasa Melayu, sehingga mempermudah komunikasi,” ungkapnya. Tantangan ini tidak hanya menguji kemampuan adaptasi Hanik, tetapi juga membantunya memahami pentingnya fleksibilitas dan keterampilan komunikasi lintas budaya.
Ia juga mencatat perbedaan signifikan dalam sistem pendidikan antara Thailand dan Indonesia. “Di Thailand, siswa SMA diberikan kebebasan untuk menggunakan HP dalam proses belajar, dan fasilitas yang diberikan sangat mendukung eksplorasi mereka. Hal ini berbeda dengan di Indonesia,” jelas Hanik. Menurutnya, kebebasan ini menciptakan lingkungan belajar yang inovatif dan memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi potensi mereka secara maksimal. “Guru-guru di sana juga sangat dihormati, dan perhatian siswa terhadap pengajaran sangat baik,” tambahnya.
Selain itu, Hanik mengamati bahwa budaya belajar siswa di Thailand cenderung lebih mandiri. Mereka terdorong untuk mengeksplorasi materi pelajaran sendiri dan mengembangkan solusi kreatif untuk berbagai permasalahan. Pengalaman ini memberikan wawasan baru bagi Hanik tentang pendekatan pendidikan yang berbeda, yang menurutnya dapat menjadi inspirasi bagi sistem pendidikan di Indonesia.
Hanik menekankan bahwa pencapaiannya tidak terlepas dari dukungan kampus. “Kampus UMMAT sangat mendukung, terutama karena memiliki asosiasi di Thailand yang memudahkan mahasiswa untuk terlibat dalam program seperti ini,” katanya. Ia juga menyebutkan bahwa program magang ini cukup viral di Thailand, menarik perhatian banyak mahasiswa. “Program ini tidak hanya memberikan pengalaman mengajar, tetapi juga membuka jejaring internasional,” tambahnya.
Namun, program ini memiliki persyaratan yang ketat. “Peserta harus bisa berbahasa Inggris dan siap ditempatkan di daerah mana pun di Thailand,” ungkap Hanik. Program ini juga menuntut komitmen tinggi dari para pesertanya, karena mereka harus mampu beradaptasi dengan lingkungan baru yang sering kali jauh dari kenyamanan. “Saya sangat bersyukur bisa terlibat dalam program ini, karena ini adalah pengalaman yang tidak akan saya lupakan seumur hidup,” ujarnya penuh rasa syukur.
Pengalaman Hanik di Kabang Pittayakham School memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya keterbukaan dan fleksibilitas dalam menghadapi tantangan. Menurutnya, sekolah tempatnya mengajar memiliki pendekatan yang sangat terbuka dan inovatif. “Sekolah ini sangat open-minded, meskipun berada di daerah yang cukup terpencil. Mereka memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis dan mandiri,” jelas Hanik.
Sebagai penutup, Hanik memberikan pesan berharga kepada mahasiswa lainnya. “Kita harus meningkatkan soft skill, hard skill, dan networking. Tiga hal ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas diri. Apalagi di era sekarang, Artificial Intelligence (AI) saja sudah bisa berbahasa Inggris, masa kita tidak bisa?” katanya dengan penuh semangat.
Hanik juga mengingatkan pentingnya memiliki mental yang kuat dan sikap pantang menyerah. “Setiap tantangan yang kita hadapi adalah bagian dari proses belajar. Jangan pernah takut untuk keluar dari zona nyaman, karena di situlah kita akan menemukan potensi terbaik dalam diri kita,” tambahnya.
Kisah Hanik menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus mengejar peluang dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan global. Dengan pengalaman berharga ini, ia membuktikan bahwa semangat belajar dan adaptasi adalah kunci untuk meraih kesuksesan di mana pun berada. Hanik berharap cerita ini dapat memotivasi lebih banyak mahasiswa untuk mengikuti program-program internasional dan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia melalui pengalaman global (HUMAS UMMAT).
Mataram, Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT) melalui Forum Mahasiswa Bidikmisi (FORMASI) gelar dialog publik bertajuk “Problematika dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan: Reviktimisasi dan Perlindungan Generasi Muda”. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk menguraikan langkah-langkah pencegahan dan solusi bersama dalam menangani isu kekerasan seksual di dunia pendidikan, Auditorium H. Anwar Ikraman (02/01).
Ketua Panitia, Mulyani, menyoroti peningkatan kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan. “Beberapa tahun terakhir, kekerasan seksual menjadi ancaman serius, terutama di lingkungan pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan berkembang. Melalui dialog ini, kami ingin memberikan ruang diskusi yang konstruktif untuk membahas solusi bersama,” ujarnya dengan penuh semangat.
Ketua Umum FORMASI, Soalihin, menekankan pentingnya upaya pencegahan kekerasan seksual sebagai tanggung jawab bersama. “Generasi muda harus dipupuk dengan nilai-nilai positif dan dilindungi dari ancaman kekerasan seksual. Kekerasan ini berdampak buruk, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara psikis. Kita semua bertanggung jawab untuk menghentikan mata rantai kekerasan ini,” tegasnya. Ia juga berharap hasil dari dialog ini dapat menjadi rekomendasi konkret untuk memberantas kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Kepala Biro Kemahasiswaan dan Alumni (BKA) UMMAT, Drs. Amil, M.M., yang menekankan pentingnya sinergi antara kampus, mahasiswa, dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. “Kampus harus menjadi pelopor dalam pencegahan kekerasan seksual dengan menyediakan kebijakan, edukasi, dan layanan yang mendukung para korban,” katanya. Ia juga menyoroti relevansi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang menjadi landasan hukum bagi institusi pendidikan untuk mengambil langkah aktif dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
“UU TPKS memberikan kerangka hukum yang jelas bagi kampus untuk melindungi mahasiswanya. Dengan adanya payung hukum ini, kita dapat bekerja sama lebih baik untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung pendidikan yang berkualitas, apalagi sekarang dikampus kita sudah ada lembaga PPKS yang akan intens mengawal isu kekerasan” ungkapnya. Ia berharap kampus-kampus di Indonesia, termasuk UMMAT, dapat terus meningkatkan kesadaran dan edukasi mengenai isu ini, sekaligus menjadi zona aman bagi generasi muda untuk belajar dan berkembang.
Dialog publik ini menghadirkan pembicara-pembicara kompeten dari berbagai bidang, yakni : Joko Jumadi, Ketua Lembaga Pencegahan Kekerasan Seksual Universitas Mataram, yang memaparkan pentingnya edukasi preventif. “Masyarakat sering kali tidak sadar bahwa tindakan tertentu dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Oleh karena itu, perlu ada sosialisasi terus-menerus tentang apa yang termasuk kekerasan seksual dan bagaimana mencegahnya,” jelasnya.
Menurut Joko Jumadi, kekerasan seksual dapat dipecah ke dalam beberapa bentuk, yaitu:
Pelecehan Verbal, Melibatkan ucapan, komentar, atau candaan bernada seksi yang memberi seseorang. “Banyak yang tidak menyadari bahwa ucapan bernada seksi, meski terkesan hanya bercanda, sebenarnya bisa berdampak besar pada korban,” ujar Joko.
Pelecehan Non-Verbal, Seperti isyarat tubuh, pandangan tidak senonoh, atau tindakan yang mengandung unsur seksual tanpa persetujuan korban. “Hal ini sering terjadi di lingkungan pendidikan, namun jarang dilaporkan karena dianggap hal sepele,” tambahnya.
Kekerasan Fisik, Meliputi pemaksaan sentuhan hingga tindakan seksual menggunakan kekerasan atau ancaman. “Ini merupakan bentuk kekerasan yang paling nyata dan sering kali meninggalkan trauma mendalam pada korban,” ungkapnya.
Eksploitasi Seksual, Pemanfaatan seseorang untuk tindakan seksual dengan tekanan, ancaman, atau ketergantungan tertentu. “Contohnya adalah pemaksaan untuk memenuhi kebutuhan seksual dengan keseimbangan nilai akademik atau keuntungan lain,” jelasnya.
Reviktimisasi, Situasi di mana korban kembali menjadi sasaran kekerasan atau diskriminasi akibat penanganan kasus yang tidak sensitif. “Korban sering kali merasa tidak mendapat dukungan yang layak dan malah menyalahkan atas apa yang menimpa mereka,” katanya.
Joko Jumadi juga menegaskan bahwa penanganan kekerasan seksual memerlukan upaya kolaboratif. Kampus, mahasiswa, dan masyarakat harus bahu-membahu untuk menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi generasi muda dari ancaman kekerasan seksual.
Sementara itu, perwakilan dari Polda NTB, AKBP Ni Pujewati, S.I.K, M.M, memberikan panduan praktis terkait pelaporan kasus kekerasan seksual dan prosedur hukum yang dapat ditempuh oleh korban. “Kami di kepolisian terus mendorong keberanian untuk melapor dan memastikan bahwa perlindungan bagi mereka menjadi prioritas,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa kepolisian memiliki mekanisme perlindungan yang terstruktur untuk melindungi korban dari intimidasi atau ancaman lebih lanjut. “Pelaporan dapat dilakukan secara langsung atau melalui platform digital yang kami sediakan untuk memudahkan akses bagi korban. Kami juga menyediakan pendampingan hukum serta psikologis bagi mereka yang membutuhkan,” jelasnya.
Dialog ini mendapat respons positif dari peserta yang hadir. Banyak mahasiswa yang merasa bahwa isu kekerasan seksual perlu dibahas lebih mendalam dan menjadi perhatian utama, terutama di tahun-tahun mendatang. Salah satu peserta, Dian Fadilah, mahasiswa FKIP UMMAT, menyampaikan harapannya, “Semoga kampus, apparat berwajib dan masyarakat semakin peduli terhadap masalah ini, karena kekerasan seksual tidak hanya merusak korban, tetapi juga generasi masa depan.” imbuhnya.
Sebagai penutup, Soalihin, menyampaikan harapan besarnya terhadap keberlanjutan gerakan ini. “Kami berharap dialog ini menjadi awal dari perubahan nyata. Kita semua harus berkomitmen untuk memberantas kekerasan seksual dan menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi generasi muda,” ujarnya.
Dengan terselenggaranya dialog publik ini, FORMASI berharap dapat menginspirasi langkah-langkah konkret dalam memutus mata rantai kekerasan seksual, tidak hanya di lingkungan UMMAT, tetapi juga di seluruh dunia pendidikan (HUMAS UMMAT).
Mataram, Program Pendidikan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan, yang dirancang untuk mempersiapkan lulusan S-1 Kependidikan menjadi guru profesional, kembali mencatatkan momen bersejarah. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT) secara resmi mengukuhkan 117 mahasiswa PPG, terdiri dari 56 lulusan PPG Gelombang 2 Tahun 2023 dan 61 lulusan PPG Gelombang 1 Tahun 2024. Acara ini berlangsung dengan hikmat di hotel Aston, disaksikan oleh para pimpinan universitas, pimpinan fakultas, dosen, guru pamong, serta admin IT PPG (18/12).
Dekan FKIP UMMAT, Dr. Muhammad Nizaar, M.Pd.Si., memberikan pesan mendalam kepada para lulusan agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, terus mengembangkan keterampilan, dan senantiasa menghargai jasa para dosen serta guru yang telah membimbing mereka selama proses pendidikan.
“Saya berharap para lulusan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar, meningkatkan keterampilan diri, hingga tidak melupakan jasa para dosen dan guru yang telah mengajari,” ujarnya.
Rektor UMMAT, Drs. Abdul Wahab, M.A., juga menyampaikan harapannya kepada para lulusan. Beliau menekankan pentingnya kontribusi dalam membangun bangsa melalui sektor pendidikan. Ia mengajak para lulusan untuk memanfaatkan peluang seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sebagai langkah awal untuk mengabdi kepada masyarakat.
“Saya berharap semoga lulusan ini bisa mengikuti PPPK hingga lulus, dan semoga lulusan ini mampu menyesuaikan diri dimanapun ditempatkan,” ungkapnya.
Selain itu, beliau juga mengapresiasi kerja keras seluruh pihak yang terlibat dalam keberhasilan program PPG ini, termasuk tim dosen, guru pamong, dan admin IT, yang telah memberikan kontribusi luar biasa dalam mendukung proses belajar mengajar.
Acara pengukuhan ini tidak hanya menjadi puncak perjalanan akademik bagi para mahasiswa, tetapi juga momen yang menandai kesiapan mereka untuk mengemban tugas sebagai pendidik yang profesional. Para lulusan langsung menerima sertifikat pendidik, sebagai tanda bahwa mereka telah memenuhi standar pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Salah satu lulusan, Rudy Siswamdi, S.Pd., Gr., mengungkapkan rasa syukurnya atas pencapaian ini. “Pengalaman belajar di PPG telah memberikan saya banyak pelajaran berharga. Saya merasa lebih siap untuk mengajar dan memberikan yang terbaik bagi anak-anak didik saya di masa depan,” ujarnya penuh semangat.
Para lulusan juga menyampaikan rasa terima kasih kepada para dosen dan guru pamong yang telah membimbing mereka selama ini. Suasana haru terlihat ketika salah satu mahasiswa mewakili rekan-rekannya memberikan pidato perpisahan, mengenang perjalanan yang penuh perjuangan dan pembelajaran selama mengikuti program PPG.
Dengan pengukuhan ini, FKIP UMMAT kembali membuktikan komitmennya dalam mencetak tenaga pendidik yang unggul, berintegritas, dan siap menghadapi tantangan dunia pendidikan di era globalisasi. Semoga para lulusan dapat terus menginspirasi dan menjadi teladan bagi generasi penerus bangsa (HUMAS UMMAT).
Jakarta Pusat, Kabar membanggakan datang dari Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT). Alifiyah Erika Safira, mahasiswi semester lima Program Studi S1 Kebidanan, Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK), berhasil meraih prestasi luar biasa dengan masuk dalam Top 10 Duta Kesehatan Indonesia 2024. Kompetisi bergengsi ini diselenggarakan di Hotel Acacia, Jakarta Pusat, selama dua hari dengan melibatkan 46 peserta terbaik dari seluruh Indonesia (09/12).
Anugerah Duta Kesehatan Indonesia 2024 bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan dan mendorong gaya hidup sehat. Para peserta ditantang untuk menjalankan program kerja yang berkolaborasi dengan pemerintah atau instansi kesehatan. Erika membuktikan dedikasi dan kepemimpinannya dengan menginisiasi program berbasis pemberdayaan masyarakat.
Melalui program-programnya, Erika berkontribusi pada pencegahan stunting, peningkatan kesadaran kesehatan reproduksi, dan penerapan pola hidup bersih dan sehat. Inovasi ini tidak hanya berdampak pada komunitas lokal tetapi juga menunjukkan potensi besar untuk diterapkan di tingkat nasional.
Dalam kompetisi ini, Erika dianugerahi penghargaan di Divisi Kesehatan dan Berkah Berbagi. Penghargaan ini menjadi pengakuan atas dedikasi dan inovasi yang ia hadirkan, sekaligus menunjukkan kepedulian mendalam terhadap isu-isu kesehatan yang relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.
Erika menyampaikan rasa syukurnya atas pencapaian ini. “Keberhasilan ini adalah hasil dari kerja keras dan dukungan dari semua pihak yang telah membantu saya selama proses kompetisi. Sebagai duta kesehatan, saya merasa memiliki tanggung jawab untuk terus mengedukasi dan memberikan solusi nyata atas permasalahan kesehatan di masyarakat,” ungkapnya.
Ia berharap prestasinya ini dapat menjadi motivasi bagi mahasiswa lainnya. Ia juga menekankan pentingnya dukungan dari kampus untuk terus mendorong mahasiswa berkompetisi di ajang-ajang serupa. “Semoga ke depan, UMMAT dapat mendukung lebih banyak finalis Duta Kesehatan Indonesia yang mewakili kampus hingga ke tingkat provinsi maupun nasional,” ujarnya.
Kompetisi ini bukan hanya sekadar lomba, tetapi juga merupakan platform bagi generasi muda untuk menjadi pelopor perubahan. Para Duta Kesehatan memiliki misi mulia, yaitu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kesehatan. Erika, bersama peserta lainnya, telah menunjukkan kepemimpinan dan komitmen untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang lebih sehat dan sejahtera.
Melalui program-programnya, Erika menginspirasi banyak pihak dengan pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan. Ia berkomitmen untuk terus mengembangkan inisiatif kesehatan yang berdampak luas, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Erika menegaskan bahwa gelar Top 10 Duta Kesehatan Indonesia bukan sekadar penghargaan, tetapi juga amanah untuk terus memberikan kontribusi nyata. “Saya ingin terus mendorong masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat, meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan reproduksi, dan mendukung upaya pencegahan stunting di daerah-daerah yang membutuhkan,” tambahnya.
Prestasi Erika adalah bukti bahwa mahasiswa UMMAT mampu bersaing di tingkat nasional sekaligus membawa dampak positif yang nyata bagi masyarakat. “Ini bukan hanya tentang hasil usaha pribadi, tetapi juga cerminan dari visi kolektif untuk membangun Indonesia yang lebih sehat dan kuat,” tutup Erika.
Prestasi ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa lain untuk terus berprestasi dan aktif dalam kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat. Selamat kepada Alifiyah Erika Safira atas pencapaiannya yang membanggakan. Semoga perjalanan ini menjadi langkah awal menuju kontribusi yang lebih besar bagi kesehatan masyarakat Indonesia (HUMAS UMMAT).