Muhammadiyah dan Pancasila


Oleh : Arifudin

Laman Opini – Muhammadiyah itu merupakan organisasi keagamaan, memilki pengalaman dan kontribusi dalam dinamika penerimaan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia.

Muhammadiyah telah mengalami  masa-masa “ketegangan”, di mana muncul perdebatan yang sangat sengit di internal organisasi tentang penerimaan Pancasila, maupun secara eksternal dalam hubungannya dengan negara.

Jika dilacak ke belakang, maka dapat diamati peran dan kontribusi Muhammadiyah dalam proses perumusan awal Pancasila. Ternyata peran penting itu dilakukan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah dalam BPUPKI: Ki Bagus Hadikusumo (Ketua PP Muhammadiyah 1942-1953), KH. Abdul Kahar Muzakkir, Dr. Sukirman Wirosandjojo, Mr. Kasman Singodimedjo.

Bahkan menurut beberapa sumber sejarah, meskipun Ki Bagus Hadikusumo pada mulanya menolak penghapusan 7 (tujuh) kata sila I, pada akhirnya ia setuju dengan sila “Ketuhan Yang Maha Esa”, setelah dilobi oleh beberapa tokoh, seperti Teuku Muhammad Hassan, KH Wahid Hasyim, dan Kasman Singodimedjo. 

Itulah sebabnya, hingga sekarang, Muhammadiyah tidak lagi mempermasalahkan hubungan Pancasila sebagai dasar negara dengan agama (Islam).

Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah bahkan baru-baru ini mengemukakan bahwa “NKRI itu kan sudah lama bersyariah”, sebagaimana dikutip banyak media, baik online maupun cetak. 

Pernyataan Haedar Nashir selaku ketua Umum PP Muhammadiyah ini sebagai respons terhadap wacana hasil kelompok yang menamakan diri Ijtimak Ulama IV yang merekomendasikan NKRI bersyariah, menempatkan ayat suci di atas ayat konstitusi.

Dinamika penerimaan Pancasila

Ketika pemerintah orde baru memaksakan asas tunggal Pancasila ke organisasi massa dan organisasi politik, Muhammadiyah perlu waktu agak lama untuk menerimanya. Tanda-tanda menerima asas tunggal ini, secara terbuka mulai tampak pada hari kedua Muktamar, 8 Desember 1985.

Di pendapa Mangkunegaran Solo waktu itu, dengan gaya kocak dan disambut penuh gelak tawa, Haji AR Fajhruddin, Ketua PP Muhammadiyah waktu itu, menyebutkan asas Pancasila itu diterima “dengan ikhtiar”. Mengapa demikian? ”Supaya yang dimaksudkan pemerintah itu berhasil, tapi tidak melanggar agama. 

Kami para pemimpin, tetap bertekad menegakkan kalimah Allah di Indonesia ini. Tidak merusak peraturan-peraturan di Indonesia, tapi tidak menjual iman, tidak menjual agama”, kata AR Fajhruddin.

PP Muhammadiyah secara resmi mulai membahas asas Pancasila ini dalam sidang Tanwir akhir Mei 1983. Kesimpulannya, Muhammadiyah lahir karena Islam, tanpa asas Islam tentu bukan Muhammadiyah lagi. Pancasila, bagi Muhammadiyah, bukan persoalan.

Pada 2012 Tanwir diselenggarakan di Bandung dan 2014 di Samarinda, memilih tema materi ”Negara Pancasila sebagai Darul ‘Ahdi wa Syahaadah” yang artinya negara Pancasila sebagai konsensus nasional (dar al -ahdi), dan tempat kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju berdaulat dalam naungan rida Allah Swt.

Pemikiran tentang negara Pancasila itu dimaksudkan untuk menjadi rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara kontekstual berdasarkan pandangan Islam berkemajuan yang selama ini menjadi perspektif Muhammadiyah. Disimpulkan, bahwa “Pancasila merupakan rahmat Allah untuk bangsa Indonesia sebagai dasar untuk memajukan dan membangun Indonesia yang merdeka dan berkemajuan. Pancasila bukan agama, tetapi substansinya mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai Islam”.

”Pancasila itu ibarat helm, agar selamat maka dipakai ketika berkendara,” ujar pak AR Fakhruddin, ketika menerima sebagai asas ormas waktu itu. 

Umat Islam termasuk di dalamnya Muhammadiyah berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai dar al-syahadah atau negara tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangasaan di segala bidang kehidupan, siap bersaing (fastabiq al khairaat) memajukan kehidupan bangsa yang kreatif dan inovatif.

Bahwa jargon Pancasila sebagai daar al ‘ahdi wal syahadah bukan lagi mempersoalkan Pancasila sebagai dasar negara atau mempersandingkannya dengan dokumen Madinah, tetapi bagaimana Muhammadiyah berkomitmen membangun negara Pancasila dengan pandangan Islam yang berkemajuan. Inilah pengalaman inspiratif Muhammadiyah yang mestinya menjadi perhatian dan internalisasi terhadap diri setiap insan di masa sekarang dan yang akan datang. 

Walahu’alam bishsho’wab!